KAMIS, 28 JULI 2016
07.30 WIB
Tulisan ini hanya sekedar penggugur sebuah target yang telah lama saya tetapkan dan rasa-rasanya saya harus bisa terus menjaganya karena dengan cara seperti itu saya bisa membentuk kedisiplinan dan konsistensi.
Bahwasanya saya, setidak-tidaknya, setiap bulannya harus bisa menulis satu tulisan untuk saya post di personal blog. Untuk apa? Menjaga kewarasan salah satunya.
Bulan ini, hampir saja saya melewatkannya, bukannya mencari-cari alasan, tapi sungguh bulan yang cukup melelahkan. Banyak hal yang saya kerjakan. Dan salah satu dari banyak kelemahan saya adalah saya tidak bisa untuk fokus dalam dua hal atau lebih dalam satu waktu yang sama. Hal itu sedikit banyaknya membuat produktifitas saya kecil, dibanding mereka yang bisa membagi fokus dengan baik.
Ketika pikiran saya mengerjakan satu hal, maka hal-hal lain cenderung saya lupakan, atau bilapun saya memaksanakan untuk mengerjakannya, maka akan sangat tidak sempurna.
Selain pekerjaan, ada juga pikiran-pikiran yang terus silih datang mengisi pikiran. Tentang masa depan, persahabatan, konflik jiwa, gunjingan, dan banyak hal lainnya.
Tapi dalam tulisan ini, satu hal yang ingin saya bagi adalah tentang sebuah gunjingan. Omongan, lebih tepatnya teguran tentang cara saya berpenampilan.
Memang sedikit banyaknya sekarang, saya mulai merubah penampilan. Karena semakin saya banyak membaca referensi dan mendengar ceramah dari para cendekiawan Muslim, maka pemahaman saya tentang ajaran Islam mulai sedikit demi sedikit terbuka dan bertambah luas.
Pemahaman yang bertambah itu juga berkenaan dengan cara Muslim seharusnya berpenampilan yang sepertinya dianggap hal remeh dewasa ini.
Hal yang saya maksud adalah perihal jenggot dan celana cingkrang. Dua hal yang entah kenapa, dianggap hal yang tak berguna. Tak berarati apapun.
Saya tak munafik, saya pun dulu asing dengan dua hal itu. Bahkan di awal ketika saya mulai menumbuhkan jenggot, saya tak ada sama sekali meniatkannya karena merupakan Sunnah Rasulullah Saw., saya hanya menganggap bahwa jenggot adalah sesuatu yang keren dan trend waktu itu.
Terlebih untuk celana cingkrang, maka bayangan saya adalah itu merupakan tanda seorang Muslim (maaf) yang kampungan!
Tapi itu dulu, ketika saya masih dengan perspektif lama. Ilmu yang juga masih dangkal. Tapi setelah banyak saya membaca dan mendengar. Semua menjadi jelas, bahwa hadits berkenaan dengan jenggot dan celana cingkrang adalah Shahih!
Begini kira-kira bunyi haditsnya :
Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.
Well, silahkan kalian selidiki kedua hadits tersebut, bagaimana kedudukannya. Sungguh kedua hadits tersebut merupakan hadits shahih (sejauh ilmu yang saya ketahui). Maka jelas berjenggot dan memakai celana cingkrang adalah sunnah Rasul Saw.
Perkara selanjutnya yang kemudian menjadi ramai adalah permasalahan penafsiran kedua hadits tersebut. Ada yang menyebutkan perkara jenggot pada hakikatnya adalah yang terpenting kita tidak menyerupai kaum Nasrani dan Yahudi. Dan urusan celana cingkrang yang utamanya adalah kita tidak berlaku sombong.
Saya pikir hadits berbeda dengan Qur'an. Dalam artian mengartikan ayat Qur'an memang tidak bisa langsung ditarik berdasarkan arti kata-katanya, harus dilihat konteksnya terlebih dahulu dan tak bisa juga diartikan sendiri tanpa memperhatikan keseluruhan ayat yang lainnya.
Akan tetapi hadits, karena berkenaan dengan segala ucapan, tingkah laku, larangan, anjuran, perintah Rasulullah Saw. maka lebih mudah untuk dipahami. Peristiwa per peristiwa.
Terlebih lagi apabila kedudukan hadits tersebut telah nyata shahih, maka ketika kita melakukannya diniatkan untuk mencontoh Rasul Saw., insya Allah akan berpahala. Bahkan untuk urusan yang bukan syar'i sekalipun.
Dalam hadits perihal jenggot jelas lafalnya begitu pun tentang celana isbal, maka selanjutnya adalah terserah kita. Apakah mau mengamalkannya dengan meniatkan untuk menjadi pengikut Rasul Saw., atau menafikan dengan mencari argumen pembenaran.
Saya memilih untuk mencoba menjalankan kedua hal itu. Dan saya pun sadar bahwa hal itu akan menimbulkan kegaduhan di tempat saya bekerja terlebih dengan titel lulusan pendidikan kepamongprajaan. Hal itu akan cukup menimbulkan kontroversi.
Dan ya, perlahan tapi pasti saya sudah mulai banyak mendengar gunjingan. Terutama dari beberapa senior angkatan. Mereka mulai mempertanyakan aliran Islam apa yang saya ikuti. Atau ada juga yang berkata bahwa bukan sunnah jenggot dan celana cingkrang yang diutamakan, sunnah ibadah dulu laksanakan. Lebih jauh lagi mereka katakan, bahwa hapalan Surah Qur'an masih hitungan jari jangan sok untuk mengatakan mengikuti sunnah-sunnah Rasul Saw.
Inti gunjingannya adalah bahwa Sunnah Rasul Saw. itu utamanya hanya pada urusan ibadah kepada Allah Swt., di luar itu maka tak perlu di besar-besarkan. Atau orang yang pantas dan layak untuk mengikuti Sunnah Rasul Saw., adalah orang-orang dengan pemahaman dan implementasi agama yang telah mendalam.
Itu baru awal, saya yakin semakin jauh saya melangkah, maka akan semakin kuat gunjingan yang nantinya akan saya terima. Bahkan tak mustahil karir saya pun akan terpengaruh hanya karena jenggot dan celana cingkrang. Apakah saya siap menerima segala macam konsekuensi itu? terutama apabila telah menyangkut karir yang berarti berbanding lurus dengan pendapatan? hanya karena urusan jenggot dan celana cingkrang? bukankah itu hanya perkara sunnah? apakah tidak bisa berkompromi?
Insya allah bila bukan alasan syar'i, hanya karena ancaman karir atau materi dunia, saya tidak akan mengorbankan kedua sunnah itu. Ini masalah keyakinan. Saya tidak ingin menjadi "malu" menjadi pengikut Rasul Saw.
Lalu bagaimana anggapan orang bahwa saya berjenggot dan bercelana cingkrang tapi masih merokok, hapalan masih beberapa surah, dan berbagai macam kekurangan lainnya. Saya pun tak ambil pusing. Toh perubahan itu tidak stagnan, tapi dinamis terus berlangsung setiap saat.
Setau saya tidak ada satupun hadits shahih yang menyebutkan syarat untuk mengerjakan sunnah Rasul Saw. harus terlebih dulu memenuhi beberapa kriteria khusus. Jadi kenapa harus malu? Kenapa harus menunda-nunda?
#PMA
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”
(HR. Muslim no. 623)
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata, “Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.”
(HR. Muslim no. 306)
Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.
Well, silahkan kalian selidiki kedua hadits tersebut, bagaimana kedudukannya. Sungguh kedua hadits tersebut merupakan hadits shahih (sejauh ilmu yang saya ketahui). Maka jelas berjenggot dan memakai celana cingkrang adalah sunnah Rasul Saw.
Perkara selanjutnya yang kemudian menjadi ramai adalah permasalahan penafsiran kedua hadits tersebut. Ada yang menyebutkan perkara jenggot pada hakikatnya adalah yang terpenting kita tidak menyerupai kaum Nasrani dan Yahudi. Dan urusan celana cingkrang yang utamanya adalah kita tidak berlaku sombong.
Saya pikir hadits berbeda dengan Qur'an. Dalam artian mengartikan ayat Qur'an memang tidak bisa langsung ditarik berdasarkan arti kata-katanya, harus dilihat konteksnya terlebih dahulu dan tak bisa juga diartikan sendiri tanpa memperhatikan keseluruhan ayat yang lainnya.
Akan tetapi hadits, karena berkenaan dengan segala ucapan, tingkah laku, larangan, anjuran, perintah Rasulullah Saw. maka lebih mudah untuk dipahami. Peristiwa per peristiwa.
Terlebih lagi apabila kedudukan hadits tersebut telah nyata shahih, maka ketika kita melakukannya diniatkan untuk mencontoh Rasul Saw., insya Allah akan berpahala. Bahkan untuk urusan yang bukan syar'i sekalipun.
Dalam hadits perihal jenggot jelas lafalnya begitu pun tentang celana isbal, maka selanjutnya adalah terserah kita. Apakah mau mengamalkannya dengan meniatkan untuk menjadi pengikut Rasul Saw., atau menafikan dengan mencari argumen pembenaran.
Saya memilih untuk mencoba menjalankan kedua hal itu. Dan saya pun sadar bahwa hal itu akan menimbulkan kegaduhan di tempat saya bekerja terlebih dengan titel lulusan pendidikan kepamongprajaan. Hal itu akan cukup menimbulkan kontroversi.
Dan ya, perlahan tapi pasti saya sudah mulai banyak mendengar gunjingan. Terutama dari beberapa senior angkatan. Mereka mulai mempertanyakan aliran Islam apa yang saya ikuti. Atau ada juga yang berkata bahwa bukan sunnah jenggot dan celana cingkrang yang diutamakan, sunnah ibadah dulu laksanakan. Lebih jauh lagi mereka katakan, bahwa hapalan Surah Qur'an masih hitungan jari jangan sok untuk mengatakan mengikuti sunnah-sunnah Rasul Saw.
Inti gunjingannya adalah bahwa Sunnah Rasul Saw. itu utamanya hanya pada urusan ibadah kepada Allah Swt., di luar itu maka tak perlu di besar-besarkan. Atau orang yang pantas dan layak untuk mengikuti Sunnah Rasul Saw., adalah orang-orang dengan pemahaman dan implementasi agama yang telah mendalam.
Itu baru awal, saya yakin semakin jauh saya melangkah, maka akan semakin kuat gunjingan yang nantinya akan saya terima. Bahkan tak mustahil karir saya pun akan terpengaruh hanya karena jenggot dan celana cingkrang. Apakah saya siap menerima segala macam konsekuensi itu? terutama apabila telah menyangkut karir yang berarti berbanding lurus dengan pendapatan? hanya karena urusan jenggot dan celana cingkrang? bukankah itu hanya perkara sunnah? apakah tidak bisa berkompromi?
Insya allah bila bukan alasan syar'i, hanya karena ancaman karir atau materi dunia, saya tidak akan mengorbankan kedua sunnah itu. Ini masalah keyakinan. Saya tidak ingin menjadi "malu" menjadi pengikut Rasul Saw.
Lalu bagaimana anggapan orang bahwa saya berjenggot dan bercelana cingkrang tapi masih merokok, hapalan masih beberapa surah, dan berbagai macam kekurangan lainnya. Saya pun tak ambil pusing. Toh perubahan itu tidak stagnan, tapi dinamis terus berlangsung setiap saat.
Setau saya tidak ada satupun hadits shahih yang menyebutkan syarat untuk mengerjakan sunnah Rasul Saw. harus terlebih dulu memenuhi beberapa kriteria khusus. Jadi kenapa harus malu? Kenapa harus menunda-nunda?
#PMA
Komentar
Posting Komentar